BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Orang
pada umumnya tidak merasakan bahwa menggunakan bahasa merupakan suatu
keterampilan yang luar biasa rumitnya. Pemakaian bahasa telah lumrah karena
memang tanpa diajari oleh siapa punsorang bayi akan tumbuh bersamaan dengan
pertumbuhan bahasanya. Dari umur satu sampai dengan satu setengah tahun seorang
bayi mulai mengeluarkan bentuk-bentuk bahasa yang telah dapat kita
identifikasikan sebagai kata. Ujaran satu kata ini tumbuh menjadi ujaran dua
kata dan akhirnya menjadi kalimat yang komplek menjelang umur empat atau lima
tahun. Setelah kita dewasa, kita memakai bahasa seolah-olah tanpa berpikir.
Begitu kita ingin mengungkapkan sesuatu, pada saat itu pulalah kita
mengeluarkan bunyi-bunyi yang disebut bahasa. Akan tetapi, kalau kita renungkan
secara mendalam akan kita rasakan bahwa pemakaian bahasa merupakan cerminan
dari kemampuan yang hanya manusialah yang dapat melakukannya.
Waktu
kita mendengarkan orang lain berbicara, kita rasanya dengan begitu saja dapat
memahami apa dia katakan. Kita tidak menyadari bahwa ujaran yang diwujudkan
dalam bentuk bunyi-bunyi yang melewati udara itu sebenarnya merupakan suatu hal
yang sangat komplek. Hal ini kita rasakan apabila kita mendengarkan orang yang
berbicara dalam bahasa asing. Kecuali bila bahasa asing kita telah sangat baik,
biasanya kita benar-benar menyimak setiap kata yang dia keluarkan untuk dapat
memahaminya. Bahkan yang sering terjadi ialah bahwa belum lagi kita menangkap
dan memahami suatu deretan kata yang diucapkan, pembicara tadi telah berlanjut
dengan kata-kata yang lain sehingga akhirnya kita ketinggalan. Hasilnya adalah
bahwa kita tidak dapat memahami atau tidak memahami dengan baik, apa yang dia
katakan. Kita malah “mendakwa” orang asing itu berbicara terlalu cepat.
Masalah
yang dihadapi oleh pendengar adalah bahwa dia harus dapat meramu bunyi-bunyi
yang dia dengar itu sedemikian rupa sehingga bunyi-bunyi itu membentuk kata
yang tidak hanya bermakna tetapi juga cocok dalam konteks dimana kata-kata itu
dipakai. Bagi penutur yang sudah fasih berbahasa tersebut, proses seperti ini
tidak terasakan dan datang begitu saja secara naluri. Akan tetapi bagi penutur
asing proses ini sangat rumit.
Dari
sudut pandang psikolinguistik, ada dua macam komprehensi (Clark dan Clark
1977). Pertama, komprehensi yang berkaitan dengan pembahasan atas ujaran yang
kita dengar. Kedua, komprehensi yang berkaitan dengan tindakan yang perlu
dilakukan setelah pemahaman itu terjadi. Untuk macam yang pertama, komprehensi
dapat didefinisikan sebagai suatu proses mental dimana pendengar mempersepsi
bunyi yang dikeluarkan oleh seorang pembicara dan memakai bunyi-bunyi itu untuk
membentuk suatu interpretasi tentang apa yang dia perkirakan dimaksud oleh
pembicara tadi. Secara mudah dapat dikatakan bahwa komprehensi adalah
pembentukan makna dari bunyi.
B.
Rumusan
Masalah
Adapun
masalah yang terdapat dalam makalah ini adalah sebagai berikut:
a.
Apa pengertian dari
ujaran?
b.
Bagaimana struktur
lahir dan struktur batin dari ujaran?
c.
Bagaimana proposisi
(pernyataan) dari ujaran?
d.
Bagaimana konstituen
sebagai realita psikologis dalam ujaran?
e.
Bagaimana strategi
dalam memahami ujaran?
C.
Tujuan
Tujuan
pembuatan makalah ini adalah untuk membahas hal-hal yang berhubungan dengan:
a.
Pengertian dari ujaran
b.
Struktur lahir dan
struktur batin dari ujaran
c.
Proposisi (pernyataan)
dari ujaran
d.
Konstituen sebagai
realita psikologis dalam ujaran
e.
Strategi dalam memahami
ujaran
BAB II
MEMAHAMI BAGAIMANA
MANUSIA MEMAHAMI UJARAN
A.
Pengertian
Ujaran
Ujaran
adalah kalimat yang dilisankan. Ujaran
biasanya berupa wicara yang diapit oleh dua kesenyapan. Ujaran selalu berupa lisan, sementara representasi dari ujaran dalam bentuk tertulis.
Dalam KBBI:
§
ujar n 1 perkataan yg diucapkan: begitu --
anak itu kepada teman-temannya; 2
kalimat atau bagian kalimat yg dilisankan;
§
ujar-ujar Jk n
nasihat atau kata-kata nenek moyang berupa peribahasa, pepatah, dan sebagainya:
ingatlah ~ orang tua, yang menanam yangg memetik;
berujar/ber·u·jar/ v berkata; berucap;
berujar/ber·u·jar/ v berkata; berucap;
§
mengujarkan/meng·u·jar·kan/
v mengatakan; menuturkan: dia ~ sesuatu yang tidak dimengerti orang;
§
ujaran/ujar·an/ n
kalimat atau bagian kalimat yang dilisankan;~ konstatatif ujaran yang dipergunakan untuk menggambarkan
atau memerikan peristiwa, proses, keadaan, dan sebagainya dan sifatnya betul
atau tidak betul; ~ performatif
ujaran yg memperlihatkan bahwa suatu perbuatan telah diselesaikan pembicara dan
dengan pengungkapannya berarti perbuatan itu diselesaikan pada saat itu juga.
B.
Struktur
Batin dan Struktur Lahir
Dalam
hal kebanyakan hal makna suatu ujaran dapat dipahami dari urutan kata yang
terdapat pada ujaran tersebut atau dari ciri-ciri tertentu masing-masing kata
yg dipakai. Kalimat seperti:
§
Wanita tua itu masih
pandai bermain lompat tali
dapat dipahami cukup
dari urutan kata-kata yang terdengar atau terlihat oleh kita. Siapa pun yang
mendengar kalimat ini akan memberikan interpretasi makna yang sama, yakni
adanya seorang wanita, wanita itu tua, dari dulu sampai sekarang bermain
sesuatu, yaitu lompat tali.
Pada
kasus yang lain, tidak mustahil bahwa suatu kalimat yang tampaknya sederhana
ternyata memiliki makna yang rumit. Dalam kalimat berikut misalnya:
§
Lelaki dan wanita tua
itu masih dapat bermain lompat tali
Kita tidak yakin apakah
lelaki itu juga tua seperti si wanita atau hanya wanitanya saja yang tua
sedangkan lelakinya tidak. Interpretasi ini muncul karena adjektifa tua dapat berfungsi sebagai pewatas
hanya pada nomina wanita saja atau
pada frasa lelaki dan wanita.
Dari
contoh-contoh di atas tampak bahwa makna suatu kalimat ternyata tidak hanya
ditentukan oleh wujud permukaan yang kita dengar atau lihat saja tetapi bahkan
terutama oleh representasi yang mendasarinya. Dengan kata lain, struktur
kalimat tidak hanya memiliki struktur lahir, tapi juga memiliki struktur batin.
Perbedaan
antara struktur lahir dengan struktur batin ini sangat penting untuk pemahaman
kalimat karena proses mental yang dilalui oleh manusia dalam menanggapi
kalimat-kalimat seperti ini berbeda dengan kalimat-kalimat yang tidak ambigu.
Meskipun konsep struktur batin vs struktur lahir kini sudah tidak diikuti lagi
oleh penggagasnya (Chomsky 1996), dalam kaitannya dengan komprehensi ujaran
kedua konsep ini rasanya masih sangat bermanfaat. Seseorang dapat memahami
suatu kalimat hanya bila dia memahami apa yang terkandung dalam kalimat itu,
bukan hanya terlihat atau terdengar dari kalimat tersebut.
C.
Proposisi
Proporsi terdiri dari dua bagian:
a.
Argumen yakni
ikhwal-ikhwal yang dibicarakan.
b.
Predikasi yakni
pernyataan yang dibuat mengenai argumen.
Ada beberapa macam proporsisi:
|
Kalimat
|
Unit Verbal
|
Nomina
|
|
Sulaeman menyanyi
|
menyanyi
|
Sulaiman
|
|
Santi sakit
|
sakit
|
Santi
|
|
Sari sedang menulis tesis
|
sedang menulis
|
Sari, tesis
|
|
Fivien memberi saya kado
|
memberi
|
Fivien, saya, kado
|
Contoh : Menyanyi berarti mempredikati
kegiatan menyanyi oleh Sulaeman. Sedangkan sakit pada santi mempredikati
keadaan sakit si Santi. Juga pada Sari sedang menulis mempredikati kegiatan
menulis tesis oleh Sari.
Contoh lain:
Preman tua itu mecuri sepeda saya
Terdapat proporsi-proporsi berikut:
a.
Seseorang mencuri
sepeda
b.
Seseorang itu adalah
preman
c.
Preman itu tua
d.
Sepeda itu sepeda saya
e.
Kala yang menyatakan
masa lalu (meskipun ini tidak terwujud tetapi terasakan dalam kalimat.
Pengertian mengenai proporsi ini penting untuk
komprehensi karena yang kita fahami dari suatu kalimat sebenarnya adalah
proporsi-proporsi itu-kenyataan bahwa ada orang, orang itu preman, preman itu
orang tua, orang itu mencuri sepeda, sepeda yang dicuri adalah sepeda milik
saya,dsb. Pada saat kita mendengar kata preman muncullah dalam benak kita
fitur-fitur semantik [+manusia], [+jantan], [perilaku negatif], dan
sebagainya. Kata tua menambahkan fitur [+berumur
lanjut], dan kata itu menambahkan lagi fitur [definit] (dan bukan[+generik]).
Pengurutan kata preman, lalu itu, dan kemudian tua!) membentuk suatu hierarki
proporsi pada tataran frasa yang menyatakan bahwa lelaki tersebut adalah preman
yang berumur lanjut, dan orang ini adalah orang yang telah telah kita ketahui
identitasnya.
Proses
ini berjalan lebih lanjut: ada sebuah sepeda dan sepeda itu kepunyaan saya;
orang itu melakukan perbuatan, yakni perbuatan mencuri, dan seterusnya sehingga
kalimat (7) akhirnya dapat dipahami dengan benar.
Yang
sering terjadi pada manusia adalah bahwa begitu suatu proposisi kalimat
dipahami, kata-kata yang mewakilinya menjadi tidak penting lagi. Kita bahkan
sering lupa kata-kata apa persisnya yang dipakai oleh penutur tadi. Hal ini
terbukti dengan kenyataan bahwa kalau kita harus menyatakan proposisi tersebut,
belum tentu kita akan memakai kata-kata dan urutan yang sama.
D.
Konstituen sebagai Realita Psikologis
Pada
bagian ini yang dibahas secara detail adalah apakah betul dengan adanya
pembagian kalimat secara konstituen memiliki realitas psikologis atau hanyalah
merupakan suatu cara oleh linguis untuk memotong-motong kalimat? Ternyata
konstituen bukanlah hanya ssekedar pemotongan kalimat yang sifatnya arbiter
saja, melainkan kekeliruan sedikit saja dalam melakukan pemotongan kata maka
akan mempengaruhi pendengaran dan mengganggu komprehensi karena pada dasrnya
konstituen mempunyai landasan psikologis maupun sintaksis yang kuat. Hal
tersebut dapat kita lihat pada tiga hal berikut:
a.
Konstituen merupakan
satu kesatuan yang utuh secara konseptual.
Contoh: Preman tua itu mencuri sepeda saya.
Frasa nomina pada preman tua itu memiliki makna konseptual yang utuh karena frasa ini dapat digantikan dengan konstituen lain yang hanya terdiri atas satu kata, misalnya, Alex atau dia.
Contoh: Preman tua itu mencuri sepeda saya.
Frasa nomina pada preman tua itu memiliki makna konseptual yang utuh karena frasa ini dapat digantikan dengan konstituen lain yang hanya terdiri atas satu kata, misalnya, Alex atau dia.
b.
Pemotongan kelompok
kata akan mempengaruhi komprehensi kita.
Contoh:
Contoh:
·
Kaidah-kaidah/ penyakit
ini memang/ sukar. Para/ mahasiswa sering kurang/ dapat menggunakan kaidah/ ini
dengan sempurna. Kaidah/ yang tersulit adalah kaidah/ rekaan. Perbedaan/
derajat kesukaran dalam/ pengamalan kaidah/….
·
Kaidah-kaidah penyakit
ini/ memang sukar//. Para mahasiswa/ sering kurang dapat menggunakan/ kaidah
ini dengan sempurna//. Kaidah yang tersulit/ adalah/ kaidah rekaan//. Perbedaan
derajat kesukaran/ dalam pengamalan kaidah….
Dari
contoh di atas dapat kita rasakan bahwa cara membaca pada contoh pertama
membuat kita sebagai pendengar kesukaran memahami kutipan ini. Sebaliknya, cara
pada contoh kedua memudahkan kita memahami isi kutipan tersebut.
·
Yang kita simpan dalam
memori kita bukanlah kata-kata yang terlepas dari konstituennya, tetapi
kesatuan makna dari masing-mansing konstituen. Pada contoh : Preman tua itu
mencuri sepeda saya. Tidak mungkin kita menyimpan informasi yang menyatakan
bahwa sepeda yang dicuri itu tua karena yang tua adalah preman yang mencuri
sepeda itu. Jadi, yang tersimpan dalam memori kita pastilah preman itu dengan
atribut ketuaannya. Untuk sepeda, kepemilikan dari sepeda itulah yang akan
tersimpan, yakni, bahwa sepeda itu milik saya (Ammon (1968 dalam Clark &
Clark 1977 dalam Soendjono Dardjowidjojo 2003)
E.
Strategi dalam Memahami Ujaran
Dalam memahami
ujaran, kita juga dibantu oleh faktor-faktor sintaktik. Kalimat terdiri dari
konstituen. Konstituen ini juga memiliki struktur tertentu. Struktur konstituen
inilah yang membantu kita memahami ujaran. Dengan kata lain, kita menggunakan
strategi sintaktik untuk membantu kita memahami suatu ujaran. Strategi-strategi
ini antara lain adalah:
a.
Setelah kita mengidentifikasi kata pertama dari suatu konstituen yang
kita dengar, proses mental kita akan mulai mencari kata lain yang selaras
dengan kata pertama dalam konstituen tersebut. Seandainya kata pertama yang
kita dengar adalah orang, maka kita mencari kata lain yang secara
sintaktis bisa berkolokasi dengan kata ini. Kata-kata ini bisa tua, besar,
bodoh, atau itu. Proses seperti ini terjadi karena kita sebagai
penutur asli bahasa Indonesia secara intuitif tahu bahwa kata seperti orang
hampir selalu diikuti oleh sesuatu yang lain untuk bisa menjadi suatu
konstituen. Karena itu, kita mengharapkan adanya kata lain yang menyusul.
b.
Setelah mendengar kata yang pertama dalam suatu konstituen, perhatikan
apakah kata berikutnya mengakhiri kontruksi itu. Seandainya setelah kata orang
muncullah kata yang, maka kita berkesimpulan bahwa kontruksi orang
yang tidak mungkin membentuk sutu konstituen. Karena itu, benak kita masih
mengharapkan adanya kat atau kata-kata lain yang mengikutinya lagi. Karena
secara intuitif kita juga tahu bahwa kata yang pastilah membentuk anak
kalimat maka kita mengharapkan munculnya anak kalimat itu. Begitu anak kalimat
tadi muncul, misalnya, Orang yang mencari kamu legalah kita karena
dengan adanya anak kalimat ini maka telah terciptalah suatu FN.
c.
Setelah kita mendengar suatu verba, carilah macam serta jumlah argumen
yang selaras dengan verba tersebut. Jika verba yang kita dengar adalah,
misalnya verba memukul, maka kita pasti mengaharapkan adanya suatu
argumen, yakni, benda atau makhluk yang dipukul. Jadi setelah kita mendengar
ungkapan:
“Dia memukul...”
Pastilah kita mengharapkan sebuah nomina seperti pencuri atau meja
karena tidak mungkin ada suatu kalimat yang berakhir pada verba seperti
ungkapan di atas. Tidak mustahil bahwa yang muncul bukanlah nomina, tetapi
penggolong seperti sebuah atau seorang. Bila seorang
muncul sesudah memukul maka kita masih mengharapkan sebuah nomina karena
seorang dalam memukul seseorang belum merupakan suatu
konstituen. Akan tetapi, dalam hal ini harapan kita sudah lebih terbatasi lagi
karena seorang hanya mungkin diikuti oleh nomina yang berfitur [+manusia].
d.
Tempelkanlah tiap kata baru pada kata yang baru saja mendahuluinya.
Strategi ini berkaitan dengan kenyataan bahwa wujud kalimat memang dalam bentuk
linear sehingga kata yang mengikuti biasanya menjelaskan kata yang
mendahuluinya. Contoh:
Buku sejarah kebudayaan Indonesia
Ikutilah progresi pikiran berikut: (a) Ini apa? –buku, (b) buku apa? –
buku sejarah; (c) sejarah apa? –sejarah kebudayaan; (d) kebudayaan bangsa mana?
– kebudayaan bangsa Indonesia. Meskipun prinsip ini sangat umum, kadang-kadang
kita terkecoh.
e.
Pakailah kata atau konstituen pertama dari suatu klausa untuk
mengidentifikasi fungsi dari klausa tersebut. Seandainya kata yang kita dengar
adalah jika, meskipun, atau ketika, maka pastilah akan ada klausa
induk dalam kalimat tersebut. Contoh:
·
Jika kamu setuju, ...
·
Ketika kami di medan, ...
Di samping strategi sintaktik, orang juga memakai
startegi semantik dalam memahami ujaran. Berikut adalah beberapa strategi
semantik yang kita pakai:
a.
Pakailah nalar dalam memahami ujaran. Kita hidup dalam masyarakat yang
memiliki persepsi yang sama tentang banyak hal. Kita, misalnya, pasti sama-sama
memahami bahwa di dunia ini kucing mengejar tikus, dan bukan sebaliknya. Dengan
pengetahuan seperti ini maka kalau kita diberi proposisi yang berkaitan dengan
seekor tikus, seekor kucing, dan perbuatan mengejar, pastilah kita berpikir
bahwa kalimat yang kita dengar adalah seperti:
·
Kucing itu mengejar tikus
bukan seperti:
·
Tikus itu mengejar kucing
Apabila memang terdengar kalimat “tikus itu mengejar kucing”, pastilah
kita akan keheranan dan tidak mustahil akan menanyakan kepada pembicara apa
memang itu yang dia ujarkan.
b.
Carilah kosntituen yang memenuhi syarat-syarat semantik tertentu. Kalau
kita dengar kata mencarikan, pastilah muncul dalam benak kita
konsep-konsep semantik yang berkaitan dengan kata ini, yakni, (a) pasti harus
ada pelaku perbuatan, (b) pasti ada obyek yang dicari, dan (c) pasti ada orang
lain yang dicarikan apapun yang dicari itu. Dengan demikian, kalau kalimat yang
kita dengar hanyalah...
·
Dia sedang mencarikan anaknya
pastilah kita masih mengharapkan adanya kelanjutan dari kalimat itu
karena verba mencarikan belum lengkap kalau hanya diikuti oleh orang
yang mendapat manfaat dalam hal ini anaknya.
Kalau yang kita dengar adalah:
·
Dia sedang mencarikan pekerjaan
maka ada dua pengertian yang kita serap: pekerjaan itu bukan untuk dia
sendiri, dan karenanya pasti ada orang lain yang sedang dia carikan pekerjaan
itu, meskipun hal ini dinyatakan secara eksplesit.
c.
Apabila ada urutan kata N V N, maka N yang pertama adalah pelaku
perbuatan, kecuali tanda-tanda lain yang mengingkarinya. Dalam kalimat
“Dia nabrak polisi”
dia adalah pelaku perbuatan. Akan tetapi, bila verbanya
telah ditandai oleh afiks tertentu, misalnya, prefiks di-, sehingga
kalimatnya menjadi
“Dia ditabrak polisi”
kata dia tidak lagi menjadi pelaku perbuatan.
d.
Bila dalam wacana kita temukan pronomina seperti mereka, atau kami,
mundurlah dan carilah antesiden untuk pronomina ini. Dalam suatu wacana
berikut:
“Waktu itu saya, Fivien, dan Amrul sedang menyusuri sungai. Tiba-tiba kami
lihat ada seekor ular yang...”
Kita temukan pronomina kami pada kalimat kedua. Pada saat kita
membaca atau mendengar kata ini, kita otomatis akan mundur akan mencari
antesiden dan pronomina ini, dan kita temukan tiga orang, yakni, saya, Fivien,
dan Amrul.
e.
Informasi lama biasanya mendahului informasi baru. Dalam kita berujar,
ada informasi-informasi yang kita anggap ada pada kesadaran si pendengar pada
saat dia mendengarkan. Informasi seperti ini dinamakan informasi lama. Setelah
informasi lama dinyatakan, barulah informasi baru diberikan.
BAB III
PENUTUP
A.
Simpulan
Dalam KBBI, ujaran/ujar·an/ n
kalimat atau bagian kalimat yang dilisankan;~ konstatatif ujaran yang dipergunakan untuk menggambarkan
atau memerikan peristiwa, proses, keadaan, dan sebagainya dan sifatnya betul
atau tidak betul; ~ performatif
ujaran yg memperlihatkan bahwa suatu perbuatan telah diselesaikan pembicara dan
dengan pengungkapannya berarti perbuatan itu diselesaikan pada saat itu juga.
Strategi
untuk memahami ujaran dapat menggunakan strategi sintaktik dan strategi semantik.
B.
Saran
Setiap strategi tentu tidak selalu
berhasil. Untuk itu, sebagai mahasiswa bahasa sebaiknya kita mencoba strategi
yang tentunya disesuaikan dengan kebutuhan kita. Dengan memanfaatkan masing-
masing strategi, mahasiswa dapat merancang pembelajarannya sesuai dengan tujuan
yang diharapkan.
DAFTAR
PUSTAKA
Chaer, Abdul. 2003. Linguistik Umum. Jakarta: PT Rineka
Cipta
Drdjowidjojo, Soenjono. 2003. Psikolinguistik “Pengantar Pemahaman Bahasa
Manusia”. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar