Kamis, 03 November 2016

Pengertian Ujaran, Struktur Lahir, dan Struktur Batin

BAB I
PENDAHULUAN
A.          Latar Belakang
Orang pada umumnya tidak merasakan bahwa menggunakan bahasa merupakan suatu keterampilan yang luar biasa rumitnya. Pemakaian bahasa telah lumrah karena memang tanpa diajari oleh siapa punsorang bayi akan tumbuh bersamaan dengan pertumbuhan bahasanya. Dari umur satu sampai dengan satu setengah tahun seorang bayi mulai mengeluarkan bentuk-bentuk bahasa yang telah dapat kita identifikasikan sebagai kata. Ujaran satu kata ini tumbuh menjadi ujaran dua kata dan akhirnya menjadi kalimat yang komplek menjelang umur empat atau lima tahun. Setelah kita dewasa, kita memakai bahasa seolah-olah tanpa berpikir. Begitu kita ingin mengungkapkan sesuatu, pada saat itu pulalah kita mengeluarkan bunyi-bunyi yang disebut bahasa. Akan tetapi, kalau kita renungkan secara mendalam akan kita rasakan bahwa pemakaian bahasa merupakan cerminan dari kemampuan yang hanya manusialah yang dapat melakukannya.
Waktu kita mendengarkan orang lain berbicara, kita rasanya dengan begitu saja dapat memahami apa dia katakan. Kita tidak menyadari bahwa ujaran yang diwujudkan dalam bentuk bunyi-bunyi yang melewati udara itu sebenarnya merupakan suatu hal yang sangat komplek. Hal ini kita rasakan apabila kita mendengarkan orang yang berbicara dalam bahasa asing. Kecuali bila bahasa asing kita telah sangat baik, biasanya kita benar-benar menyimak setiap kata yang dia keluarkan untuk dapat memahaminya. Bahkan yang sering terjadi ialah bahwa belum lagi kita menangkap dan memahami suatu deretan kata yang diucapkan, pembicara tadi telah berlanjut dengan kata-kata yang lain sehingga akhirnya kita ketinggalan. Hasilnya adalah bahwa kita tidak dapat memahami atau tidak memahami dengan baik, apa yang dia katakan. Kita malah “mendakwa” orang asing itu berbicara terlalu cepat.
Masalah yang dihadapi oleh pendengar adalah bahwa dia harus dapat meramu bunyi-bunyi yang dia dengar itu sedemikian rupa sehingga bunyi-bunyi itu membentuk kata yang tidak hanya bermakna tetapi juga cocok dalam konteks dimana kata-kata itu dipakai. Bagi penutur yang sudah fasih berbahasa tersebut, proses seperti ini tidak terasakan dan datang begitu saja secara naluri. Akan tetapi bagi penutur asing proses ini sangat rumit.
Dari sudut pandang psikolinguistik, ada dua macam komprehensi (Clark dan Clark 1977). Pertama, komprehensi yang berkaitan dengan pembahasan atas ujaran yang kita dengar. Kedua, komprehensi yang berkaitan dengan tindakan yang perlu dilakukan setelah pemahaman itu terjadi. Untuk macam yang pertama, komprehensi dapat didefinisikan sebagai suatu proses mental dimana pendengar mempersepsi bunyi yang dikeluarkan oleh seorang pembicara dan memakai bunyi-bunyi itu untuk membentuk suatu interpretasi tentang apa yang dia perkirakan dimaksud oleh pembicara tadi. Secara mudah dapat dikatakan bahwa komprehensi adalah pembentukan makna dari bunyi.
B.          Rumusan Masalah
Adapun masalah yang terdapat dalam makalah ini adalah sebagai berikut:
a.            Apa pengertian dari ujaran?
b.           Bagaimana struktur lahir dan struktur batin dari ujaran?
c.            Bagaimana proposisi (pernyataan) dari ujaran?
d.           Bagaimana konstituen sebagai realita psikologis dalam ujaran?
e.            Bagaimana strategi dalam memahami ujaran?
C.          Tujuan
Tujuan pembuatan makalah ini adalah untuk membahas hal-hal yang berhubungan dengan:
a.            Pengertian dari ujaran
b.           Struktur lahir dan struktur batin dari ujaran
c.            Proposisi (pernyataan) dari ujaran
d.           Konstituen sebagai realita psikologis dalam ujaran
e.            Strategi dalam memahami ujaran

BAB II
MEMAHAMI BAGAIMANA MANUSIA MEMAHAMI UJARAN
A.          Pengertian Ujaran
Ujaran adalah kalimat yang dilisankan. Ujaran biasanya berupa wicara yang diapit oleh dua kesenyapan. Ujaran selalu berupa lisan, sementara representasi dari ujaran dalam bentuk tertulis.
Dalam KBBI:
§    ujar n 1 perkataan yg diucapkan: begitu -- anak itu kepada teman-temannya; 2 kalimat atau bagian kalimat yg dilisankan;
§    ujar-ujar Jk n nasihat atau kata-kata nenek moyang berupa peribahasa, pepatah, dan sebagainya: ingatlah ~ orang tua, yang menanam yangg memetik;
berujar/ber·u·jar/ v berkata; berucap;
§    mengujarkan/meng·u·jar·kan/ v mengatakan; menuturkan: dia ~ sesuatu yang tidak dimengerti orang;
§    ujaran/ujar·an/ n kalimat atau bagian kalimat yang dilisankan;~ konstatatif ujaran yang dipergunakan untuk menggambarkan atau memerikan peristiwa, proses, keadaan, dan sebagainya dan sifatnya betul atau tidak betul; ~ performatif ujaran yg memperlihatkan bahwa suatu perbuatan telah diselesaikan pembicara dan dengan pengungkapannya berarti perbuatan itu diselesaikan pada saat itu juga.
B.          Struktur Batin dan Struktur Lahir
Dalam hal kebanyakan hal makna suatu ujaran dapat dipahami dari urutan kata yang terdapat pada ujaran tersebut atau dari ciri-ciri tertentu masing-masing kata yg dipakai. Kalimat seperti:
§    Wanita tua itu masih pandai bermain lompat tali
dapat dipahami cukup dari urutan kata-kata yang terdengar atau terlihat oleh kita. Siapa pun yang mendengar kalimat ini akan memberikan interpretasi makna yang sama, yakni adanya seorang wanita, wanita itu tua, dari dulu sampai sekarang bermain sesuatu, yaitu lompat tali.
Pada kasus yang lain, tidak mustahil bahwa suatu kalimat yang tampaknya sederhana ternyata memiliki makna yang rumit. Dalam kalimat berikut misalnya:
§    Lelaki dan wanita tua itu masih dapat bermain lompat tali
Kita tidak yakin apakah lelaki itu juga tua seperti si wanita atau hanya wanitanya saja yang tua sedangkan lelakinya tidak. Interpretasi ini muncul karena adjektifa tua dapat berfungsi sebagai pewatas hanya pada nomina wanita saja atau pada frasa lelaki dan wanita.
Dari contoh-contoh di atas tampak bahwa makna suatu kalimat ternyata tidak hanya ditentukan oleh wujud permukaan yang kita dengar atau lihat saja tetapi bahkan terutama oleh representasi yang mendasarinya. Dengan kata lain, struktur kalimat tidak hanya memiliki struktur lahir, tapi juga memiliki struktur batin.
Perbedaan antara struktur lahir dengan struktur batin ini sangat penting untuk pemahaman kalimat karena proses mental yang dilalui oleh manusia dalam menanggapi kalimat-kalimat seperti ini berbeda dengan kalimat-kalimat yang tidak ambigu. Meskipun konsep struktur batin vs struktur lahir kini sudah tidak diikuti lagi oleh penggagasnya (Chomsky 1996), dalam kaitannya dengan komprehensi ujaran kedua konsep ini rasanya masih sangat bermanfaat. Seseorang dapat memahami suatu kalimat hanya bila dia memahami apa yang terkandung dalam kalimat itu, bukan hanya terlihat atau terdengar dari kalimat tersebut.
C.          Proposisi
Proporsi terdiri dari dua bagian:
a.            Argumen yakni ikhwal-ikhwal yang dibicarakan.
b.           Predikasi yakni pernyataan yang dibuat mengenai argumen.
Ada beberapa macam proporsisi:
Kalimat
Unit Verbal
Nomina
Sulaeman menyanyi
menyanyi
Sulaiman
Santi sakit
sakit
Santi
Sari sedang menulis tesis
sedang menulis
Sari, tesis
Fivien memberi saya kado
memberi
Fivien, saya, kado

Contoh : Menyanyi berarti mempredikati kegiatan menyanyi oleh Sulaeman. Sedangkan sakit pada santi mempredikati keadaan sakit si Santi. Juga pada Sari sedang menulis mempredikati kegiatan menulis tesis oleh Sari.
Contoh lain:
Preman tua itu mecuri sepeda saya
Terdapat proporsi-proporsi berikut:
a.            Seseorang mencuri sepeda
b.           Seseorang itu adalah preman
c.            Preman itu tua
d.           Sepeda itu sepeda saya
e.            Kala yang menyatakan masa lalu (meskipun ini tidak terwujud tetapi terasakan dalam kalimat.
Pengertian mengenai proporsi ini penting untuk komprehensi karena yang kita fahami dari suatu kalimat sebenarnya adalah proporsi-proporsi itu-kenyataan bahwa ada orang, orang itu preman, preman itu orang tua, orang itu mencuri sepeda, sepeda yang dicuri adalah sepeda milik saya,dsb. Pada saat kita mendengar kata preman muncullah dalam benak kita fitur-fitur semantik [+manusia], [+jantan], [perilaku negatif], dan sebagainya. Kata tua menambahkan fitur [+berumur lanjut], dan kata itu menambahkan lagi fitur [definit] (dan bukan[+generik]). Pengurutan kata preman, lalu itu, dan kemudian tua!) membentuk suatu hierarki proporsi pada tataran frasa yang menyatakan bahwa lelaki tersebut adalah preman yang berumur lanjut, dan orang ini adalah orang yang telah telah kita ketahui identitasnya.
Proses ini berjalan lebih lanjut: ada sebuah sepeda dan sepeda itu kepunyaan saya; orang itu melakukan perbuatan, yakni perbuatan mencuri, dan seterusnya sehingga kalimat (7) akhirnya dapat dipahami dengan benar.
Yang sering terjadi pada manusia adalah bahwa begitu suatu proposisi kalimat dipahami, kata-kata yang mewakilinya menjadi tidak penting lagi. Kita bahkan sering lupa kata-kata apa persisnya yang dipakai oleh penutur tadi. Hal ini terbukti dengan kenyataan bahwa kalau kita harus menyatakan proposisi tersebut, belum tentu kita akan memakai kata-kata dan urutan yang sama.
D.          Konstituen sebagai Realita Psikologis
Pada bagian ini yang dibahas secara detail adalah apakah betul dengan adanya pembagian kalimat secara konstituen memiliki realitas psikologis atau hanyalah merupakan suatu cara oleh linguis untuk memotong-motong kalimat? Ternyata konstituen bukanlah hanya ssekedar pemotongan kalimat yang sifatnya arbiter saja, melainkan kekeliruan sedikit saja dalam melakukan pemotongan kata maka akan mempengaruhi pendengaran dan mengganggu komprehensi karena pada dasrnya konstituen mempunyai landasan psikologis maupun sintaksis yang kuat. Hal tersebut dapat kita lihat pada tiga hal berikut:
a.            Konstituen merupakan satu kesatuan yang utuh secara konseptual.
Contoh: Preman tua itu mencuri sepeda saya.
Frasa nomina pada preman tua itu memiliki makna konseptual yang utuh karena frasa ini dapat digantikan dengan konstituen lain yang hanya terdiri atas satu kata, misalnya, Alex atau dia.
b.           Pemotongan kelompok kata akan mempengaruhi komprehensi kita.
Contoh:
·             Kaidah-kaidah/ penyakit ini memang/ sukar. Para/ mahasiswa sering kurang/ dapat menggunakan kaidah/ ini dengan sempurna. Kaidah/ yang tersulit adalah kaidah/ rekaan. Perbedaan/ derajat kesukaran dalam/ pengamalan kaidah/….
·             Kaidah-kaidah penyakit ini/ memang sukar//. Para mahasiswa/ sering kurang dapat menggunakan/ kaidah ini dengan sempurna//. Kaidah yang tersulit/ adalah/ kaidah rekaan//. Perbedaan derajat kesukaran/ dalam pengamalan kaidah….
Dari contoh di atas dapat kita rasakan bahwa cara membaca pada contoh pertama membuat kita sebagai pendengar kesukaran memahami kutipan ini. Sebaliknya, cara pada contoh kedua memudahkan kita memahami isi kutipan tersebut.
·             Yang kita simpan dalam memori kita bukanlah kata-kata yang terlepas dari konstituennya, tetapi kesatuan makna dari masing-mansing konstituen. Pada contoh : Preman tua itu mencuri sepeda saya. Tidak mungkin kita menyimpan informasi yang menyatakan bahwa sepeda yang dicuri itu tua karena yang tua adalah preman yang mencuri sepeda itu. Jadi, yang tersimpan dalam memori kita pastilah preman itu dengan atribut ketuaannya. Untuk sepeda, kepemilikan dari sepeda itulah yang akan tersimpan, yakni, bahwa sepeda itu milik saya (Ammon (1968 dalam Clark & Clark 1977 dalam Soendjono Dardjowidjojo 2003)
E.          Strategi dalam Memahami Ujaran
Dalam memahami ujaran, kita juga dibantu oleh faktor-faktor sintaktik. Kalimat terdiri dari konstituen. Konstituen ini juga memiliki struktur tertentu. Struktur konstituen inilah yang membantu kita memahami ujaran. Dengan kata lain, kita menggunakan strategi sintaktik untuk membantu kita memahami suatu ujaran. Strategi-strategi ini antara lain adalah:
a.            Setelah kita mengidentifikasi kata pertama dari suatu konstituen yang kita dengar, proses mental kita akan mulai mencari kata lain yang selaras dengan kata pertama dalam konstituen tersebut. Seandainya kata pertama yang kita dengar adalah orang, maka kita mencari kata lain yang secara sintaktis bisa berkolokasi dengan kata ini. Kata-kata ini bisa tua, besar, bodoh, atau itu. Proses seperti ini terjadi karena kita sebagai penutur asli bahasa Indonesia secara intuitif tahu bahwa kata seperti orang hampir selalu diikuti oleh sesuatu yang lain untuk bisa menjadi suatu konstituen. Karena itu, kita mengharapkan adanya kata lain yang menyusul.
b.           Setelah mendengar kata yang pertama dalam suatu konstituen, perhatikan apakah kata berikutnya mengakhiri kontruksi itu. Seandainya setelah kata orang muncullah kata yang, maka kita berkesimpulan bahwa kontruksi orang yang tidak mungkin membentuk sutu konstituen. Karena itu, benak kita masih mengharapkan adanya kat atau kata-kata lain yang mengikutinya lagi. Karena secara intuitif kita juga tahu bahwa kata yang pastilah membentuk anak kalimat maka kita mengharapkan munculnya anak kalimat itu. Begitu anak kalimat tadi muncul, misalnya, Orang yang mencari kamu legalah kita karena dengan adanya anak kalimat ini maka telah terciptalah suatu FN.
c.            Setelah kita mendengar suatu verba, carilah macam serta jumlah argumen yang selaras dengan verba tersebut. Jika verba yang kita dengar adalah, misalnya verba memukul, maka kita pasti mengaharapkan adanya suatu argumen, yakni, benda atau makhluk yang dipukul. Jadi setelah kita mendengar ungkapan:
“Dia memukul...”
Pastilah kita mengharapkan sebuah nomina seperti pencuri atau meja karena tidak mungkin ada suatu kalimat yang berakhir pada verba seperti ungkapan di atas. Tidak mustahil bahwa yang muncul bukanlah nomina, tetapi penggolong seperti sebuah atau seorang. Bila seorang muncul sesudah memukul maka kita masih mengharapkan sebuah nomina karena seorang dalam memukul seseorang belum merupakan suatu konstituen. Akan tetapi, dalam hal ini harapan kita sudah lebih terbatasi lagi karena seorang hanya mungkin diikuti oleh nomina yang berfitur [+manusia].
d.           Tempelkanlah tiap kata baru pada kata yang baru saja mendahuluinya. Strategi ini berkaitan dengan kenyataan bahwa wujud kalimat memang dalam bentuk linear sehingga kata yang mengikuti biasanya menjelaskan kata yang mendahuluinya. Contoh:
Buku sejarah kebudayaan Indonesia
Ikutilah progresi pikiran berikut: (a) Ini apa? –buku, (b) buku apa? – buku sejarah; (c) sejarah apa? –sejarah kebudayaan; (d) kebudayaan bangsa mana? – kebudayaan bangsa Indonesia. Meskipun prinsip ini sangat umum, kadang-kadang kita terkecoh.
e.            Pakailah kata atau konstituen pertama dari suatu klausa untuk mengidentifikasi fungsi dari klausa tersebut. Seandainya kata yang kita dengar adalah jika, meskipun, atau ketika, maka pastilah akan ada klausa induk dalam kalimat tersebut. Contoh:
·             Jika kamu setuju, ...
·             Ketika kami di medan, ...
Di samping strategi sintaktik, orang juga memakai startegi semantik dalam memahami ujaran. Berikut adalah beberapa strategi semantik yang kita pakai:
a.            Pakailah nalar dalam memahami ujaran. Kita hidup dalam masyarakat yang memiliki persepsi yang sama tentang banyak hal. Kita, misalnya, pasti sama-sama memahami bahwa di dunia ini kucing mengejar tikus, dan bukan sebaliknya. Dengan pengetahuan seperti ini maka kalau kita diberi proposisi yang berkaitan dengan seekor tikus, seekor kucing, dan perbuatan mengejar, pastilah kita berpikir bahwa kalimat yang kita dengar adalah seperti:
·             Kucing itu mengejar tikus
bukan seperti:
·             Tikus itu mengejar kucing
Apabila memang terdengar kalimat “tikus itu mengejar kucing”, pastilah kita akan keheranan dan tidak mustahil akan menanyakan kepada pembicara apa memang itu yang dia ujarkan.
b.           Carilah kosntituen yang memenuhi syarat-syarat semantik tertentu. Kalau kita dengar kata mencarikan, pastilah muncul dalam benak kita konsep-konsep semantik yang berkaitan dengan kata ini, yakni, (a) pasti harus ada pelaku perbuatan, (b) pasti ada obyek yang dicari, dan (c) pasti ada orang lain yang dicarikan apapun yang dicari itu. Dengan demikian, kalau kalimat yang kita dengar hanyalah...
·             Dia sedang mencarikan anaknya
pastilah kita masih mengharapkan adanya kelanjutan dari kalimat itu karena verba mencarikan belum lengkap kalau hanya diikuti oleh orang yang mendapat manfaat dalam hal ini anaknya.
Kalau yang kita dengar adalah:
·             Dia sedang mencarikan pekerjaan
maka ada dua pengertian yang kita serap: pekerjaan itu bukan untuk dia sendiri, dan karenanya pasti ada orang lain yang sedang dia carikan pekerjaan itu, meskipun hal ini dinyatakan secara eksplesit.
c.            Apabila ada urutan kata N V N, maka N yang pertama adalah pelaku perbuatan, kecuali tanda-tanda lain yang mengingkarinya. Dalam kalimat
“Dia nabrak polisi”
dia adalah pelaku perbuatan. Akan tetapi, bila verbanya telah ditandai oleh afiks tertentu, misalnya, prefiks di-, sehingga kalimatnya menjadi
“Dia ditabrak polisi”
kata dia tidak lagi menjadi pelaku perbuatan.
d.           Bila dalam wacana kita temukan pronomina seperti mereka, atau kami, mundurlah dan carilah antesiden untuk pronomina ini. Dalam suatu wacana berikut:
“Waktu itu saya, Fivien, dan Amrul sedang menyusuri sungai. Tiba-tiba kami lihat ada seekor ular yang...”
Kita temukan pronomina kami pada kalimat kedua. Pada saat kita membaca atau mendengar kata ini, kita otomatis akan mundur akan mencari antesiden dan pronomina ini, dan kita temukan tiga orang, yakni, saya, Fivien, dan Amrul.
e.            Informasi lama biasanya mendahului informasi baru. Dalam kita berujar, ada informasi-informasi yang kita anggap ada pada kesadaran si pendengar pada saat dia mendengarkan. Informasi seperti ini dinamakan informasi lama. Setelah informasi lama dinyatakan, barulah informasi baru diberikan.


























BAB III
PENUTUP
A.          Simpulan
Dalam KBBI, ujaran/ujar·an/ n kalimat atau bagian kalimat yang dilisankan;~ konstatatif ujaran yang dipergunakan untuk menggambarkan atau memerikan peristiwa, proses, keadaan, dan sebagainya dan sifatnya betul atau tidak betul; ~ performatif ujaran yg memperlihatkan bahwa suatu perbuatan telah diselesaikan pembicara dan dengan pengungkapannya berarti perbuatan itu diselesaikan pada saat itu juga.
Strategi untuk memahami ujaran dapat menggunakan strategi sintaktik dan strategi semantik.
B.          Saran
Setiap strategi tentu tidak selalu berhasil. Untuk itu, sebagai mahasiswa bahasa sebaiknya kita mencoba strategi yang tentunya disesuaikan dengan kebutuhan kita. Dengan memanfaatkan masing- masing strategi, mahasiswa dapat merancang pembelajarannya sesuai dengan tujuan yang diharapkan.














DAFTAR PUSTAKA

Chaer, Abdul. 2003. Linguistik Umum. Jakarta: PT Rineka Cipta
Drdjowidjojo, Soenjono. 2003. Psikolinguistik “Pengantar Pemahaman Bahasa Manusia”. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia




Tidak ada komentar:

Posting Komentar